Icon Moon Batman Begins - Diagonal Resize 2

Monday, February 17, 2014

Pak Naim Sang Pemimpin
Teks: Didik Salambanu
Tatkala kokok ayam jantan saling bersahutan membangunkan fajar. Membuka pintu menyambut tibanya pesona pagi. Dan gaung kumandang ayat-ayat suci dari pengeras suara Musholla Nurul Huda. Mendayu-dayu ke setiap sudut Dusun Dologan nan permai. Menembus dinding hati setiap insan yang mendengarnya, seolah rangkaian kata-kata rayuan mesra dari langit bagi yang beriman untuk bersegera bersimpuh di hadapan sang Khalik.

Pak Naim beranjak dari pembaringannya nan hangat. Diusirnya aura kemalasan. Diagungkannya nilai ketakwaan. Ditinggalkannya mimpi indah namun sejatinya semu, bergegas menuju kiwan nan sederhana di belakang rumah, untuk membersihkan badan. Berwudhu menyucikan diri.
Lalu dipakai busana religiusitasnya. Baju koko hijau pupus polos tanpa ornamen, dipadu bawahan sarung tenun putih dengan corak lembut garis kecoklatan, yang warnanya pun mulai memudar dimakan guliran waktu. Disematkannya di atas kepala peci putih favoritnya, yang berbahan rajutan benang-benang yang direnda secara apik oleh pembuatnya. Dan tak lupa dibelitkannya surban merah maroon barunya di leher. Surban tanda cinta dari istrinya.
Langkah kakinya pun diarahkan ke musholla yang tak seberapa jauh dari rumah. Bangunan peninggalan leluhur bumi Dologan yang belum lama ini selesai dipugar.
Muadzin pun melafalkan kalimat adzan, memanggil setiap hamba Allah untuk cepat-cepat memenuhi shaf musholla yang masih kosong, yang biasanya pun hanya dua baris yang terisi. Sembari menunggu sebagian jamaah mengerjakan sholat sunah fajar, disambungnya dengan menyanyikan syair-syair lagu pujian buat Pemimpin Agung, Nabi Muhammad SAW.
Semenjak ditunjuk menjadi imam musholla, Pak Naim pun untuk mengemban amanah menjadi warasatul anbiya, pengayom kaum muslimin-muslimat di kampungnya. Dijadikan panutan dan teladan, sandaran pertanyaan masalah keagamaan, atau konselor problematika hidup warga Dologan. Pemimpin spiritual.
Beliau merupakan etalase berjalan seorang hamba Allah yang berbalut baju keislaman nan tebal. Di kala goda dunia makin nyata adanya, hanya ulama-lah yang mampu mengingatkan dan membimbing umatnya dengan petuah bijak dan kata-kata penyejuk.
Tak terkecuali di ambang pagi ini. Kakek satu cucu ini memikul tugas menjadi imam sholat shubuh di musholla tempat masa kecilnya belajar mengaji, yang dari namanya bermakna sang cahaya petunjuk.
Semuanya larut dalam kekhusyukan ibadah sholat shubuh yang dipimpin pria paruh baya ini. Disempurnakan dengan dzikir panjang sesudahnya. Ngudo roso mencurahkan isi hati di altar Sang Pencipta. Penuh doa dan pengharapan agar dimantapkan niat mengisi hari ini dengan amal ibadah, dilapangkan jalan penghidupannya, dikaruniai kesehatan lahir dan batin serta dianugrahi keberkahan hidup.

SUMBER: http://sulang.wordpress.com/2009/02/05/menepis-mimpi-membuka-hari-1/


Pak Naim, Sang Penderes
Ini lanjutan dari kisah Pak Naim sebelumnya.
Teks: Didik Salambanu
Saat mentari mulai meninggi dan sinarannya mendatangkan terang bagi bumi, Pak Naim pun bersiaga menjemput jatah rejeki. Ditanggalkannya baju dan sarung simbol pengakuan sebagai hamba yang lemah, terkecuali peci putih kebanggaan, oleh-oleh adik iparnya dari tanah Arab, berganti kaos oblong nan usang, bercelana biru pudar model kulot hingga batas bawah lutut, -lengkap dengan rokok kretek dan korek api di sakunya-, yang seakan menjelma menjadi pakaian dinasnya hari ini
Diraihnya belasan bumbung bambu kosong tanpa isi yang teronggok di dapur, disatukan menjadi dua bagian agar pikulannya sanggup membawanya secara seimbang. Tak ketinggalan arit kecil yang telah direkayasa menjadi pisau tajam dan alat bantu panjat berupa seutas tali made in sendiri berbahan daun lontar yang dipilin hingga padat, singset, dan kuat , dimasukkan ke dalam salah satu bumbung.
Lengkap sudah peralatan yang dipersiapkan untuk ‘berperang’, menggugurkan kewajiban menafkahi keluarga. Dengan pundak yang terlihat masih kekar di usianya, ditentengnya sejumlah potongan ruas bambu petung yang telah berubah wujud menjadi bumbung dengan sebatang pikulan dari bongkotan pohon bambu. Sebatang rokok terjepit di sela bibirnya yang hitam sembari dihisap dalam-dalam dan sejurus kemudian dihembuskannya secara kuat-kuat asapnya untuk membuang kejenuhan rutinitas.
Ditapakinya rute tanah berbatu dengan kaki-kaki telanjangnya menuju lahan pencahariaan, yang terhampar di pojok dusun. Jalur setapak yang dilewatinya tiap hari seperti dipayungi rimbunnya rumpun bambu yang menguasai kerajaan flora di kanan kiri jalan. Sebagian batang hijaunya nan panjang melambai hampir berebahan, tak kuasa melawaan kencangnya terpaan angin.
Dan bunyi gegesekan antar batang bambu akibat hempasan udara yang mengalir, diiring senandung kicau burung-burung emprit dan tekukur yang berloncat-loncatan di dahan jati, menciptakan simponi musik kampung nan merdu merindu, menggambarkan suasana pagi yang riang di ujung jalan desa. Dan jangkauan langkah Pak Naim pun terhenti di pematang yang tak rata.
Dipandanginya ladang luas miliknya yang garing kemringking pertanda kemarau sedang puncak-puncaknya. Tanah pun nelo-nelo, seakan menyerah melawan sengatan panas matahari yang membakar. Rumput-rumput pun tampak kuning layu, merana, mengiba kepada cucuran rinai hujan.
Seketika Pak Naim teringat akan ternaknya di kandang. Sedih membayangkan nasib tiga ekor sapinya, yang hanya mendapat asupan makanan ala kadarnya. Hanya jerami kering residu panenan padi kemarin, dan terkadang diimbuhi daun pohon pisang sebagai tambahan vitamin, agar hewan kesayangannya bisa survive mengarungi musim kering yang diperkirakan akan berlangsung lama..
Berkali-kali Pak Naim menghela nafas, mengusap keringat yang membahasi wajahnya yang mulai keriput, mengusir hawa panas meski pagi baru saja memulai peredarannya. Seolah semua yang tampak di depan matanya adalah korban bisu dari ganasnya efek degradasi lingkungan.
“Hidup jangan mudah menyerah, Dik. Derita karena alam bukan tanda Tuhan tak sayang abdi-Nya. Petaka kecil seperti ini bukan untuk diratapi, justru harus menambah rasa syukur. Ini adalah ujian tak tertulis dari Gusti Allah, untuk menilai seberapa besar kualitas penghambaan awakke dhewe. Yakin ae, di balik kesulitan, pasti ada kemudahan, selama kita berpegang teguh kepada simpul ajaran-Nya. Kita makhluk yang sempurna, kita dibekali akal, pasti ada jalan keluar selama kita mau berpikir,” itulah nasehat arif yang dilontarkan Pak Naim sewaktu aku temui di ladangnya.

SUMBER: http://sulang.wordpress.com/2009/02/19/menepis-mimpi-membuka-hari-2/
Ini adalah lanjutan dari tulisan tentang Pak Naim, Imam Masjid Jatimudo yang tulus mengabdikan dirinya untuk umat. baca tulisan sebelumnya.


oleh: Didik Salambanu
Foto : Dwiyoga N

Pak Naim menelusuri setiap jengkal bentangan awang-awang sambil terus menghisap rokok ‘generik’nya yang masih tersisa, dan untuk selanjutnya kuikuti tatapannya. Sejauh mataku memandang, vegetasi darat khas pesisir yang jumlahnya tak banyak di bumi nusantara tampak begitu mendominasi.
Puluhan pohon berbatang tunggal sejenis palem dengan kontur kulit pohonnya yang kasap, agak kehitam-hitaman, dengan penebalan sisa pelepah daun di bagian bawah, yang kokoh menjulang hingga ketinggian 25 m, tajuk nan rimbun dan membulat, daunnya sekilas mirip kipas, bundar, kaku, bercangap berjari dan berwarna hijau keabu-abuan, bentuk pelepahnya pendek, menghitam, bercelah di pangkal, berijuk dan bergerigi di tepiannya.
Kuamati Pak Naim yang bersiap menjalankan profesi sampingannya sebagai penyadap air legen. Digantungkannya sebagian bumbung kosong di pelepah anakan pohon siwalan yang masih ‘balita’, sedang bumbung yang lain disangkutkan di lengan kirinya.
Diselipkannya pisau gores untuk ‘menggarap’ tangkai bunga bogor lanang di belakang punggungnya. Dengan cekatan dipanjatnya pohon siwalan di dekatnya dia berdiri, kakinya dijejakkan di takik-takik berundak yang sengaja dibuat di batang pohon siwalan, sembari alat bantu tali panjatnya dijulurkan hingga melingkari batang sebagai tumpuan kekuatan sewaktu memanjat.
Dengan kelihaiannya bak mountain side climber, tak perlu waktu sampai dua menit untuk menaklukkan ketinggian 15 m pohon siwalannya. Bapak yang bernama lengkap Nyono Naim ini pun telah nangkring di atas tajuk pohon siwalan, memulai jobdesk utamanya.
Dilihatnya beberapa bumbung yang dipasang kemarin sore telah penuh oleh tetesan air legen. Dengan telaten dilepas dari kaitnya dan disisihkan, digantinya dengan bumbung baru sambil tangkai kembang lama dipotong dan digores baru di bawahnya dengan pisau kerjanya nan tandes, cresh…cresh… Air legen pun lambat laun menetes dari ujung tangkai bunga yang baru saja dipotong, seakan lewat getah bunga pohon siwalan inilah rejeki Pak Naim mengalir, memenuhi pundi-pundi nafkahnya.
Satu per satu bumbung yang telah terisi diambil, hingga semuanya dituntaskan, digantikan dengan bumbung baru. Tak satupun ‘kembang siwalan’ yang terlewat digarapnya.
Pak Naim pun menjalani alur kerja keduanya, menuruni pohon siwalan. Meski lebih gampang dibandingkan sewaktu naik, namun beban berat dari bumbung-bumbung yang sarat air legen menuntut ekstra kehati-hatian.
Namun bagi Pak Naim yang hampir 30 tahun menekuni dan berpengalaman dengan pekerjaan menyadap air legen, tidaklah susah dan ribet melakukannya. Cukup hanya 15 menit leadtime yang dibutuhkan untuk ‘mencumbui’ satu pohon siwalan, dari foreplay hingga endplay. Tak perlu rehat lama, selang berikutnya pohon keduanya pun digarapnya, seterusnya dan seterusnya, hingga pohon siwalan ke-12 miliknya yang terakhir memanggilnya, bersiap diri kembang siwalannya untuk di’sunat’.
Selaksa Makna Air Legen
Peluh keringat yang membanjiri permukaan kulitnya tak dirasakan, keletihan dan kepenatan tak dihiraukannya, dan bayang-bayang kekhawatiran bahwa rejeki yang diterimanya hari ini tidak halal tak bakal menghantuinya.
Hanya senyum mengembang mengisyaratkan kebahagiaan menyaksikan belasan bumbung-bumbung yang telah penuh terisi air legen yang seolah menjadi saksi buah kerja keras dan keikhlasannya menjalani profesi yang terkadang dipandang sebelah mata.
Matahari telah di sepertiga perjalanannya. Pak Naim pun beranjak pulang, memikul beban berat puluhan liter air legen. Dalam benaknya membayang, betapa Maha Pengasih Dzat Yang di Atas. Mendiam di bumi Dologan nan gersang, di saat sawah dan ladang cuma jadi pengangguran, dibelenggu krisis air bersih sehingga seteguk air menjadi barang yang tidak murah, di tengah ketidakpastian kapan mongso labuh akan datang, seakan air legen menjadi dewa penolong, penyumbang materi yang sebelumnya seret bahkan mampet karena ketiadaan panenan padi maupun palawijo, penyambung kelangsungan denyut nafas kehidupan Pak Naim sekeluarga.
Sesampai di rumah, istrinya yang sedari tadi setia menunggu segera menyambut ‘oleh-oleh gratisan’ Pak Naim dengan wajah berbinar. Kolaborasi nan indah sebuah household relationship, mencitrakan keharmonisan dan kemesraan rumah tangga Pak Naim.
Oleh Bu Naim,-yang terbiasa dipanggil Mbah, panggilan kesayangan dari pak Naim-, dituangnya air legen ‘sejuta makna’ ini ke dalam wadah kuali secara perlahan-lahan, agar tidak berceceran untuk menghargai hasil kerja suami, dicucinya hingga bersih bumbung-bumbung yang habis terpakai untuk persiapan Pak Naim menek kembali nanti sore.
Dan Pak Naim pun mengisi waktu luangnya dengan sejenak beristirahat, momong putu, mengurus ternaknya, ndarus Al Quran dan mengaji atau sekedar tilik-tilik tegal, karena di saat musim kemarau seperti ini, tak banyak yang bisa dikerjakan di sawah ladangnya.
Tak lama kemudian, Lek Sukir, tetangganya dari Dusun Ngemplak, muncul di depan pintu, kulakan air legen hasil ladang Pak Naim, dibarter dengan sekian lembar uang rupiah, untuk nantinya dijual ke kota, menyusur pasar komunitas legeners yang tersebar luas di Blora, Cepu, Juana, Pati, Kudus, Jepon, Japah, Wirosari, Randublatung bahkan sampai ke Ngawi.
Dari hasil usaha sampingannya ini, Pak Naim pantas dijadikan guru kehidupan. Bagi kita mungkin jumlah rupiah per harinya tak seberapa. Namun bermodal sikap bersahaja, sabar dan nrimo menjalani hidup keseharian, gemi lan nastiti, disisihkannya sebagian hasil transaksi air legennya, sedikit sedikit lama-lama membukit.
Hari demi hari, bulan demi bulan, tahun demi tahun, dan berkat ke-Maha Kasih dan Maha Sayang dari-Nya, hingga akhirnya Pak Naim diundang bertandang ke bumi Mekah, menjadi tamu Allah, menyempurnakan rukun islam kelima di tanah suci, diangkat derajatnya, naik pangkat menyandang gelar seorang haji, di tahun 2000 silam. Hal yang tak pernah diangankan Pak Naim bakal kesampaian, namun bila Gusti Kang Murbeng Dumadi berkehendak lewat setetes air legen, siapa yang tak bersukacita menyambut uluran tangan-Nya.
Inilah potret kehidupan seorang penyadap air legen, yang menyiratkan sebuah pelajaran bahwa selama kita taat, manut dan munduk-munduk kepada-Nya, pandai sebagai hamba yang tak pernah putus mengucap kata syukur, di mana, kapan saja dan kondisi apapaun, bakal ada jalan rejeki yang tiada terduga, sebagai penggenap keberkahan perjalanan hidup manusia.
Thanks for all Pak Naim, you’re my inspiration, teacher of my life…

SUMBER : http://sulang.wordpress.com/2010/01/14/teladan-kehidupan-dari-jatimudo/

Rukun Sulang, Sebuah Upaya Penyusunan Sejarah Kampung

Sulang

Oleh Yudhie Dusone Yarcho
…kota yang baik adalah kota yang bisa menyuguhkan sejarah kota dari waktu ke waktu yang kasat mata, fisik dan visual… [Eko Budihardjo]
Atur pambagyo
Sulit, adalah sebuah kata untuk menggambarkan permasalahan yang saya dapatkan ketika berusaha untuk memperoleh data-data yang seluas-luasnya dan sebanyak-banyaknya tentang asal-muasal sejarah Sulang, yang karena keterbatasan waktu hanya bisa saya lakukan melalui dunia maya.
Ketika memasukkan ‘Sulang’ di sebuah search engine (=dalam hal ini, saya menggunakan google), sangat sedikit sekali (bahkan hampir tidak ada) referensi yang menyajikan data berupa sejarah Sulang. Bahkan di situs Pemkab Rembang, yang notabene adalah penguasa wilayah setempat, pun tidak diperoleh data mengenai sejarah Sulang.
Dan di tengah segala keterbatasan yang ada, saya coba menyajikan apa yang bisa saya tulis sebagai upaya awal untuk menuliskan sejarah Sulang, yang mungkin kelak akan berguna.
Sulang, sebuah definisi
Dalam bahasa Melayu (Kamus Bahasa Melayu Online), Sulang adalah :
1)   Sejenis bekas daripada tembaga untuk menyimpan air
2)   Sejenis bekas daripada tembikar untuk menyimpan minyak goring
Dalam bahasa Kawi, Sulang = suji
Dalam bahasa Indonesia (Kamus Besar Bahasa Indonesia Online), Sulang adalah :
1)   Saling memberikan minuman
2)   Beradu paruh (seperti burung merpati)
3)   Asap lampu yang hitam yang menimbulkan jelaga
Sulang, dan penyebutan dalam tulisan
Dalam “Ensiklopedia Umum” yang disusun oleh Prof. Mr. Ag. Pringgodigdo, Abdul Gaffar Pringgodigdo, dan Hasan Shadily (1977) disebutkan bahwa,”Sekarmaji Marijan Kartosuwiryo dilahirkan di Sulang, Rembang, Jawa Tengah. Bapaknya adalah seorang mantri kehutanan”
…tentang hal ini, sudah pernah saya dengar sejak lama, meski di beberapa versi yang lain SM Kartosuwiryo memiliki tempat lahir yang berbeda…
Soetandyo Wignyosoebroto (2005), dalam “Pasang Surut Otonomi Daerah: Sebuah Refleksi Perjalanan 100 Tahun”, menyebutkan, “…ada pemberontakan rakyat di desa-desa, misalnya di distrik Pamotan dan Sulang Kabupaten Rembang di bawah pimpinan Sarekat Islam dalam tahun 1916…”
Ahmad Humam ,dalam makalah tentang “Sejarah Desa di Kabupaten Rembang”, yang meski tidak menuliskan tentang sejarah desa Sulang tetapi sempat menyebut nama Sulang dalam tulisannya. Berikut saya kutip tulisannya, “…1440-1490, pada masa pemerintahan Kadipaten Lasem, memerintahkan kepada R. Panji Singopatoko yang dibantu oleh 2 orang prajuritnya Ki Suro Gino dan Ki Suro Gendogo untuk membuka hutan ke arah selatan. Hutan yang dibabat itu dikemudian hari menjadi desa yang sekarang disebut desa Kunir dan desa Sulang…”
Dalam “Antologi Cerita Rakyat Daerah Istimewa Yogyakarta”, Anto Dhanu Priyo Prabowo menuliskan sejarah lahirnya sebuah desa di Bantul, yang (kebetulan) bernama Sulang, sebagai berikut,”…Desa itu diberi nama Sulang, singkatan dari kesusu ilang (tergesa-gesa hilang)…”
(Belum) Penutup

Demikian sedikit yang dapat saya tulis tentang upaya awal pendokumentasian sejarah Sulang. Tulisan ini terbuka bagi siapa saja yang mungkin memiliki data dan fakta yang lebih banyak-lebih baik-lebih akurat tentang sejarah Sulang.
Sekian, terimakasih.
dusone.wordpress.com
SUMBER: http://sulang.wordpress.com/2008/11/26/sulang-online-sebuah-upaya-penulisan-sejarah-kampung/
kopi-lelet
Menikmati segelas kopi hitam sambil me’lelet’kan ampas kopi halus ke rokok sudah merupakan pemandangan yang lazim/lumrah ditemui di warung-warung kopi di sekitar Sulang.
Teks: Dusone
Sejak lama, anak-anak muda Sulang senang melakukan aktivitas berkumpul, yang untuk selanjutnya disebut nongkrong. Komunitas nongkrong ini, tidak hanya berasal dari satu generasi saja, tetapi lintas generasi. Ada yang merupakan teman di sekolah, teman sepermainan, ada juga guru dan muridnya. Dalam komunitas ini, semua atribut hilang, lebur. Semua sama, setara.
Kegiatan nongkrong ini menimbulkan gagasan dari ‘seseorang’ yang berinisiatif untuk membuat sarana untuk tempat nongkrong yang lebih representatif, yaitu dengan mendirikan warung kopi.
Hal ini terjadi kira-kira di era 90-an, yang waktu itu lagi booming Play Station, rentalan VCD dan Piala Dunia (untuk mengetahui kapan dan siapa yang pertama kali mempopulerkan warung kopi, perlu diadakan riset lebih lanjut).
Dengan berdirinya warung kopi, aktivis nongkrong akhirnya mendapatkan tempat ‘berlabuh’ yang lebih baik dari pada sebelumnya yang (mungkin) hanya bergerombol di ujung-ujung jalan, atau bahkan di pos ronda.
Dilengkapi dengan fasilitas game PS, membuat aktivis nongkrong ini menjadi lebih betah untuk berlama-lama berada di warung kopi, meski hanya dengan ditemani segelas kopi. Kadang, aktivitas nongkrong juga di barengi dengan acara nonton bareng pertandingan sepakbola, yang diakses melalui layar televisi yang telah tersedia.
Pada perjalanannya, keberadaan warung kopi sempat juga mengalami pasang surut. Ada yang terpaksa tutup karena terjadi ‘mis management’, atau karena si ‘owner’nya pindah domisili. Tetapi ada juga yang mengalami perkembangan setelah di’take over’ alias terjadi pergantian pengelolaan.
Dalam benak dan angan-angan saya, aktivitas ngopi ini bisa menjadi sarana untuk transfer teknologi, sarana untuk saling berbagi informasi dan pendapat. Entah itu mendukung atau bahkan meng’kritisi kondisi bangsa ini (dalam lingkup yang lebih khusus, keadaan Sulang).
Warung kopi menjadi tempat bertemunya para intelektual muda Sulang lulusan Yogya, Semarang atau kota lain, dan menularkan pengetahuannya kepada aktivis nongkrong yang tetap tinggal di Sulang, yang semua tetap bermuara pada satu hal, kemajuan Sulang itu sendiri.
Mungkin, 5-10 tahun ke depan, warung kopi di Sulang sudah dilengkapi dengan fasilitas hotspot, sehingga selain ngopi juga dapat dinikmati internet gratis. Mudah-mudahan….
15:03 pm
27Nop08
JPR
Tulisan ini juga dimuat di Webblog Dusone.

Kabupaten Rembang, adalah sebuah kabupaten di Provinsi Jawa Tengah. Ibukotanya adalah Rembang. Kabupaten ini berbatasan dengan Teluk Rembang (Laut Jawa) di utara, Kabupaten Tuban (Jawa Timur) di timur, Kabupaten Blora di selatan, serta Kabupaten Pati di barat.
Makam pahlawan pergerakan emansipasi wanita Indonesia, R. A. Kartini, terdapat di Kabupaten Rembang, yakni di jalur Rembang-Blora (Mantingan).







RADEN PANJI SINGOPATOKO
(KYAI ABDUL ROHMAN)

(Asal-usul Desa Gedug, Karangasem, Ngatoko, Telogo, Tapaan, Kasingan)

Pada tahun 1440-1490 Kadipaten Lasem diperintahkan oleh Prabu Santi Puspo. Prabu Santi Puspo anak Prabu Santi Bodro. Prabu Santi Bodro anak Prabu Bodro Nolo dengan Puteri Cempo. Prabu Bodro Nolo anak Prabu Wijoyo Bodro. Prabu Wijoyo Bodro anak Prabu Bodro Wardono. Prabu Bodro Wardono anak Dewi Indu/ Dewi Purnomo Wulan/ Prabu Puteri Maharani dengan Rajasa Wardana. Dewi Indu adalah saudara sepupu Prabu Hayam Wuruk Wilotikto. Dewi Indu pernah menjadi ratu di Kadipaten Lasem. Jadi Prabu Santi Puspo masih keturunan raja-raja Majapahit.

Pada masa pemerintahan Prabu Santi Puspo, Kadipaten Lasem mencapai keadilan dan kemakmuran. Rakyat hidup serba kecukupan tidak kurang suatu apapun. Prabu Santi Puspo seorang dermawan, suka memberi pertolongan kepada yang membutuhkan. Pada suatu saat Prabu Santi Puspo berangan-angan ingin memperluas wilayah kadipatennya. Keinginan beliau sangat kuat, maka dipanggillah Raden Panji Singopatoko untuk melaksanakan tugas membuka hutan atau babat alas di sebelah selatan Desa Kabongan terus ke selatan.

Pada hari yang ditentukan, berangkatlah Raden Panji Singopatoko melaksanakan tugas. Raden Panji Singopatoko dibantu beberapa orang pilihan yang loyal kepada pemerintah Kadipaten Lasem dan didampingi oleh dua orang prajurit yaitu Ki Suro Gino dan Ki Suro Gendogo. Rombongan dibagi menjadi dua kelompok. Sebelah barat dipimpin oleh Ki Suro Gino, sedang sebelah timur oleh Ki Suro Gendogo.

Ketika mereka mulai membuka hutan, banyak sekali rintangan diantaranya adalah gangguan yang dibuat oleh orang-orang yang tidak senang kepada pemerintah Prabu Santi Puspo. Banyak prajurit yang terserang penyakit. Gangguan itu juga datang dari binatang buas dan hewan berbisa. Gangguan dan rintangan itu dihadapi oleh Raden Panji Singipatoko dan prajurit-prajuritnya yang dipimpin Ki Suro Gino dan Ki Suro Gendogo dengan tabah serta tekad dan semangat yang menyala-nyala, meski banyak yang menjadi korban. Akhirnya semua rintangan dapat diatasi dan pekerjaan terselesaikan dengan memuaskan. Hutan yang dibuka itu menjadi desa yang sekarang disebut Desa Kunir dan Desa Sulang.

Raden Panji Singopatoko beserta rombongan meneruskan tugasnya membuka hutan lagi, dari Sulang menuju ke barat daya. Dalam perjalanannya itu Raden Panji pun telah siap siaga untuk menyerang dan membunuh harimau itu. Keduanya terlibat dalam pergumulan yang seru. Raden Panji Singopatoko tidak mau surut walau selangkah, terus maju pantang menyerah. Raden Panji Singopatoko adalah seorang yang sakti mandraguna. Akhirnya harimau itu lari dan tidak berhasil dibunuh oleh Raden Panji beserta teman-temannya.
Raden panji Singopatoko beserta rombongannya merasa sangat lelah setelah bertempur melawan harimau. Kemudian mereka beristirahat dan membuat rumah untuk tempat peristirahatan. Di sela-sela istirahatnya, Raden Panji berfikir memikirkan pelaksanaan tugasnya itu. Sebenarnya beliau merasa belum dapat melaksanakan tugasnya dengan baik, beliau kecewa. Karena sebagai orang yang dipercaya oleh Prabu Santi Puspo untuk menjadi pemimpin atau' "gegedug" (istilah zaman kerajaan) mestinya harus dapat menyelesaikan setiap masalah yang dihadapi.
Sudah menjadi kebiasaan orang-orang zaman dahulu apabila menghadapi atau mengalami suatu masalah atau kejadian yang mengesankan dan penting, maka diabadikan dengan suatu simbul atau ditengarai dengan tanda-tanda yang dapat dikenang sepanjang masa. Oleh karena itu, untuk mengenang apa yang sedang dipikirkan oleh Raden Panji Singopatoko itu, beliau berkata, "Besuk kalau ada ramainya zaman dan tempat ini menjadi desa, aku beri nama Desa "Gedug". Maka jadilah desa itu disebut Desa Gedug, sekarang disebut Desa Sumbermulyo. Setelah beberapa saat mereka beristirahat, lalu mereka melanjutkan perjalanan ke selatan untuk membuka hutan. Pengalaman membuka hutan yang kemarin ternyata terulang disini. Banyak rintangan dan gangguan yang dihadapi. Diantara mereka ada yang meninggal karena terserang penyakit. Ada yang digigit binatang buas atau binatang berbisa.

Raden Panji Singopatoko beserta rombongan bekerja dengan giat membuka hutan. Setelah lama bekerja, mereka merasa lelah, lalu beristirahat di bawah pohon asam yang besar. Ketika badan mereka sudah terasa segar, dan hilang kelelahannya serta tenaga mereka telah pulih kembali. Raden Panji bangkit sambil menoleh ke kanan dan ke kiri, lalu beliau berkata, " Karena setelah kita beristirahat di tempat ini badan kita terasa segar sekali dan disini tumbuh banyak pohon asam, maka kalau besuk ada ramainya zaman, dan tempat ini menjadi desa aku beri nama Desa Karangasem."

Dari Karangasem, Raden Panji Singopatoko melanjutkan tugasnya membuka hutan ke arah tenggara di sebuah hutan yang masih banyak harimaunya. Pada suatu hari, Ki Suro Gendogo menemukan goa yang cukup dalam. Di atas goa ada seekor harimau betina. Ketika Ki Suro Gendogo mendekati goa, harimau itu diam saja, tidak menyerang dan juga tidak pergi. Ki Suro Gendogo lalu berfikir dan berkata dalam hati,
"Ada apa dengan harimau ini?".


Lalu Ki Suro Gendogo melihat ke dalam goa. Ternyata di dalam goa ada seekor anak harimau yang jatuh ke dalam goa dan tidak dapat naik. Ki Suro Gendogo berkata kepada harimau betina yang ada diatas goa itu, "Aku mau menolong anakmu, tetapi anakmu aku minta dan akan aku pelihara dengan baik." Akhirnya anak harimau itu diambil oleh Ki Suro Gendogo. Oleh karena itu Ki Suro Gendogo menjadi terkenal kemana-mana karena memelihara anak harimau itu. Setiap hari Jum'at, induk harimau itu datang ke rumah Ki Suro Gendogo untuk memberi makan anaknya. Pagi harinya pasti di luar rumah ada hewan yang mati, misalnya kijang, kera dan sebagainya, karena dimangsa induk harimau itu. Desa tempat Ki Suro Gendogo itu menjadi daerah yang ramai tumbuh menjadi pedukuhan, dan oleh Raden Panji Singopatoko diberi nama Dukuh Ngatoko.

Setiap ada orang yang berniat jahat di Dukuh Ngatoko, tiba-tiba didatangi seekor harimau. Sehingga niat jahatnya gagal. Setiap Raden Panji Singopatoko memberi bimbingan dan nasehat serta tuntunan kepada Panji Singopatoko, sehingga penduduk Ngatoko taat dan setia kepada Raden Panji Singopatoko. Di bawah pimpinan Raden Panji, penduduk Ngatoko hidup dengan aman, damai, tentram, dan sejahtera atas berkah Allah SWT.


Raden Panji Singopatoko juga tidak lupa mengajak rakyatnya untuk menjalankan ajaran Agama Islam. Ki Suro Gendogo dan Ki Suro Gino tinggal di Dukuh Ngatoko. Ki Suro Gendogo di Ngatoko Timur, sedang Ki Suro Gino tinggal di Ngatoko Barat. Demikianlah kehidupan masyarakat Ngatoko terus berjalan dengan tentram dan damai. Dan Raden Panji Singopatoko akhirnya menjadi Kyai Ageng Ngatoko dan terkenal dengan sebutan KYAI ABDUL RAHMAN

Pada suatu saat Raden Panji Singopatoko menginginkan suatu kehidupan yang lebih tentram. Sejalan dengan usianya yang sudah mulai udzur, beliau ingin mengurangi keterlibatannya dalam hiruk pikuknya kehidupan duniawi ini. Beliau ingin bertapa di atas gunung atau punthuk di dekat mata air atau telaga, guna merenungi dan tafakur tentang hakekat hidup dan kehidupan serta lebih bertaqqarub kepada Allah SWT.


Di sekitar tempat Kyai Abdul Rahman bertapa, sekarang menjadi perkampungan yang ramai, banyak orang yang bermukim di sini. Oleh Raden Panji Singopatoko atau Kyai Abdul Rahman, kawasan itu diberi nama Dukuh Telogo yang sekarang masuk di wilayah Desa Karangasem, Kecamatan Bulu. Di dekat tempat pertapaan itu dibangun sebuah masjid lengkap dengan kolahnya. Sampai sekarang bekas kolah tersebut masih dapat dilihat berupa batu merah yang masih tersusun dengan baik. Daerah ini tidak pernah kekurangan air karena ada telaga yang bagus sumbernya, bahkan sumber air telaga ini disalurkan dengan pipa besar untuk memenuhi kebutuhan penduduk Desa Telogo dan Karangasem.

Prabu Santi Puspo (Adipati Lasem), merasa berhutang budi kepada Raden Panji Singopatoko, karena berkat perjuangan Raden Panji Singopatoko wilayah Kadipaten Lasem bertambah luas, dan keadaannya aman dan tentram. Sebagai balas budi Prabu Santi Puspo atas jasa-jasa raden Panji Singopatoko beliau ingin mengambil Raden Panji Singopatoko sebagai adik iparnya. Raden Panji dinikahkan dengan adik Prabu Santi Puspo yang bernama Dewi Sulanjari. Maka dipanggillah Raden Singopatoko menghadap Sang Prabu.


Setelah Raden Panji menghadap Sang Prabu, maka Sang Prabu menyampaikan maksudnya. Raden Panji tidak dapat berbuat apa-apa dihadapan Sang Prabu. Kecuali hanya menerima saja tawaran Sang Prabu. Akhirnya Raden Panji Singopatoko menikah dengan adik Prabu Santi Puspo yaitu Dewi Sulanjari. Pernikahannya dilaksanakan di rumah Raden Panji Singopatoko di Desa Gedug (Sumbermulyo). Pada tahun 1472 Raden Panji Singopatoko dipanggil lagi oleh Prabu Santi Puspo untuk menerima tugas baru yaitu membuka hutan di sebelah barat daya Dukuh Kabongan. Raden Panji Singopatoko segera melaksanakan tugasnya tersebut dan dibantu para prajurit yang lain.


Berbulan-bulan lamanya Raden Panji Singopatoko membuka hutan ini. Akhirnya berhasil dibuka dan tumbuh menjadi sebuah desa. Oleh Raden Panji Singopatoko diberi nama Desa Kasingan. Raden Panji Singopatoko memang seorang pemimpin yang arif bijaksana. Beliau mencintai masyarakatnya, demikian juga masyarakatnya mencintai dan mentaati pemimpinnya. Rakyat hidup rukun, damai, tentram dan sejahtera. Atas pembinaan dan kepemimpinan Raden Panji Singopatoko, rakyat yang tinggal di daerah-daerah yang telah dibuka oleh Raden Panji Singopatoko dapat disatukan yang jumlahnya mencapai seribu orang. Oleh karena Raden Panji Singopatoko dapat mempersatukan orang-orang lebih dari seribu maka beliau dianugerahi oleh Prabu Santi Puspo, Adipati Lasem jabatan sebagai penewu pada tahun 1485.


Pada tahun 1492 Raden Panji Singopatoko alias Kyai Ageng Ngatoko alias Kyai Abdul Rahman, wafat. Sebelum wafat, beliau telah berpesan kepada keluarganya, kalau beliau meninggal supaya dimakamkan didekat masjid atau Tapakan Telogo Desa Karangasem yaitu Punthuk dekat Desa Watu Lintang, sebelah barat daya Goa Watu Gilang.

Setelah Raden Panji Singopatoko wafat, jabatan Penewu digantikan oleh putera beliau yang bernama Raden Panji Singonagoro. Sebagai penghargaan dan penghormatan masyarakat Dukuh Telogo dan masyarakat Desa Karangasem kepada Raden Panji Singopatoko alias Kyai Abdul Rahman, setiap tanggal 12 Bakda Maulud masyarakat menyelenggarakan peringatan wafat beliau atau haul bertempat di makam Kyai abdul Rahman di Tapaan Dukuh Telogo Desa Karangasem.

Kesimpulan

Dari cerita di atas sampailah kita kepada kesimpulan dari beberapa alternatif tentang sejarah asal-usul Desa Gedug, Karangasem, Ngatoko, Telogo, Tapaan, Kasingan. Adanya fakta-fakta sejarah seperti pembentukan pemukiman awal yang kemudian tumbuh menjadi kota, adanya tokoh penguasa daerah dan adanya wilayah kekuasaan.

Sedangkan dulu ternyata pusat kabupaten Rembang atau malah mungkin sebelum terbentuk kabupaten Rembang pusatnya berada di Lasem atau lebih tepatnya kadipaten Lasem, tapi seiring berjalannya waktu akhirnya sekarang berpindah ke kota Rembang sendiri dan jarak antara Lasem dengan kota Rembang kurang lebih 20 KM.

Berdasarkan sumber di atas penguasa pada saat itu yang tinggal di Kadipaten Lasem masih keturunan kerajaan Majapahit mulai dari Prabu Santi Puspo anak Prabu Santi Bodro. Prabu Santi Bodro anak Prabu Bodro Nolo dengan Puteri Cempo. Prabu Bodro Nolo anak Prabu Wijoyo Bodro. Prabu Wijoyo Bodro anak Prabu Bodro Wardono. Prabu Bodro Wardono anak Dewi Indu/ Dewi Purnomo Wulan/ Prabu Puteri Maharani dengan Rajasa Wardana. Dewi Indu adalah saudara sepupu Prabu Hayam Wuruk Wilotikto. Dewi Indu pernah menjadi ratu di Kadipaten Lasem. Jadi Prabu Santi Puspo masih keturunan raja-raja Majapahit. Menurut sumber lain juga mengatakan bahwa kabupaten Rembang keseluruhannya dulu juga daerah kekuasaan Majapahit yang terkenal sangat luas.

Pariwisata


Gedung Sociƫteit (tempat pertemuan orang Eropa) di Rembang (foto diambil sebelum tahun 1880)

Pantai Dampo Awang

Adalah sebuah taman dan pantai yang terletak di Kota Rembang, tepat di sisi utara jalur pantura. Sebelum pengelolaannya diserahkan ke pihak swasta, taman ini bernama Taman Rekreasi Pantai Kartini (TRPK). Penggantian nama dilakukan untuk membedakan dengan Pantai Kartini di Jepara. Fasilitas yang tersedia di tempat rekreasi yang dikelola Pemda setempat ini antara lain;
  • Taman bermain anak
  • Kolam renang
  • Pantai berpasir putih
  • Anjungan
  • Panggung hiburan
  • Perahu wisata
  • kios cinderamata
  • Kolam buaya
  • Permainan air (banana boat)

Wana Wisata Kartini Mantingan

Tempat Rekreasi wanawisata yang dikelola oleh Perum Perhutani ini terletak di desa Mantingan Kecamatan Bulu Rembang, berdekatan dengan Makam R.A. Kartini. Fasilitasnya:
  • Konservasi tanaman
  • Kolam renang
  • Bumi Perkemahan
  • Koleksi satwa
  • Arena olahraga

Bumi Perkemahan Karangsari Park

Terletak di Desa Karangsari. Bumi Perkemahan ini pernah digunakan untuk menggelar Jambore Daerah Gerakan Pramuka Kwarda Jawa Tengah pada tahun 2007.

Sumber Semen

Merupakan hutan wisata yang dikelola oleh Perum Perhutani yang terletak di Kecamatan Sale Rembang. Tempat wisata yang terletak di tengah-tengah hutan lindung ini mempunyai fasilitas antara lain:
  • Pemandian/Kolam renang
  • Taman bermain anak
  • Bumi Perkemahan

Puncak Argopuro

Merupakan puncak tertinggi di Gunung Lasem dengan ketinggian 806 meter diatas permukaan laut. Tempat ini banyak dikunjungi oleh para pecinta alam dan penyuka kegiatan outdoor dari Rembang, Pati, Tuban dan lainnya. Jalur pendakian yang sering dilalui adalah melalui Nyode Pancur.

Pasujudan Sunan Bonang

Konon merupakan tempat berdakwah Sunan Bonang. Dan di tempat ini pulalah Sunan Bonang dimakamkan sebelum akhirnya mayatnya dicuri dan dipindah ke Tuban oleh murid beliau. Lokasinya terletak di Desa Bonang Kecamatan Lasem, tepat di atas bukit di sisi jalan Pantura. Setiap bulan Dzulqaidah diadakan acara haul. Obyek-obyek lainnya di sini adalah:
  • Batu bekas tempat bersujud Sunan Bonang
  • Bekas kediaman Sunan Bonang
  • Joran Pancing milik Sunan Bonang
  • Makam-makam kuno lainnya

Bukit Kajar

Konong merupakan sebuah Kadipaten yang dipimpin oleh Rasemi pada masa kerajaan Majapahit. Obyek yang menrik antara lain:
  • Puncak Bukit Kajar
  • Mata air dan pemandian
  • Agrowisata
SUMBER: http://sraksruk.blogspot.com/2012/10/sejarah-daerah-rembang-jawa-tengah.html

Sulang

Oleh Yudhie Dusone Yarcho
…kota yang baik adalah kota yang bisa menyuguhkan sejarah kota dari waktu ke waktu yang kasat mata, fisik dan visual… [Eko Budihardjo]
Atur pambagyo
Sulit, adalah sebuah kata untuk menggambarkan permasalahan yang saya dapatkan ketika berusaha untuk memperoleh data-data yang seluas-luasnya dan sebanyak-banyaknya tentang asal-muasal sejarah Sulang, yang karena keterbatasan waktu hanya bisa saya lakukan melalui dunia maya.
Ketika memasukkan ‘Sulang’ di sebuah search engine (=dalam hal ini, saya menggunakan google), sangat sedikit sekali (bahkan hampir tidak ada) referensi yang menyajikan data berupa sejarah Sulang. Bahkan di situs Pemkab Rembang, yang notabene adalah penguasa wilayah setempat, pun tidak diperoleh data mengenai sejarah Sulang.
Dan di tengah segala keterbatasan yang ada, saya coba menyajikan apa yang bisa saya tulis sebagai upaya awal untuk menuliskan sejarah Sulang, yang mungkin kelak akan berguna.
Sulang, sebuah definisi
Dalam bahasa Melayu (Kamus Bahasa Melayu Online), Sulang adalah :
1)   Sejenis bekas daripada tembaga untuk menyimpan air
2)   Sejenis bekas daripada tembikar untuk menyimpan minyak goring
Dalam bahasa Kawi, Sulang = suji
Dalam bahasa Indonesia (Kamus Besar Bahasa Indonesia Online), Sulang adalah :
1)   Saling memberikan minuman
2)   Beradu paruh (seperti burung merpati)
3)   Asap lampu yang hitam yang menimbulkan jelaga
Sulang, dan penyebutan dalam tulisan
Dalam “Ensiklopedia Umum” yang disusun oleh Prof. Mr. Ag. Pringgodigdo, Abdul Gaffar Pringgodigdo, dan Hasan Shadily (1977) disebutkan bahwa,”Sekarmaji Marijan Kartosuwiryo dilahirkan di Sulang, Rembang, Jawa Tengah. Bapaknya adalah seorang mantri kehutanan”
…tentang hal ini, sudah pernah saya dengar sejak lama, meski di beberapa versi yang lain SM Kartosuwiryo memiliki tempat lahir yang berbeda…
Soetandyo Wignyosoebroto (2005), dalam “Pasang Surut Otonomi Daerah: Sebuah Refleksi Perjalanan 100 Tahun”, menyebutkan, “…ada pemberontakan rakyat di desa-desa, misalnya di distrik Pamotan dan Sulang Kabupaten Rembang di bawah pimpinan Sarekat Islam dalam tahun 1916…”
Ahmad Humam ,dalam makalah tentang “Sejarah Desa di Kabupaten Rembang”, yang meski tidak menuliskan tentang sejarah desa Sulang tetapi sempat menyebut nama Sulang dalam tulisannya. Berikut saya kutip tulisannya, “…1440-1490, pada masa pemerintahan Kadipaten Lasem, memerintahkan kepada R. Panji Singopatoko yang dibantu oleh 2 orang prajuritnya Ki Suro Gino dan Ki Suro Gendogo untuk membuka hutan ke arah selatan. Hutan yang dibabat itu dikemudian hari menjadi desa yang sekarang disebut desa Kunir dan desa Sulang…”
Dalam “Antologi Cerita Rakyat Daerah Istimewa Yogyakarta”, Anto Dhanu Priyo Prabowo menuliskan sejarah lahirnya sebuah desa di Bantul, yang (kebetulan) bernama Sulang, sebagai berikut,”…Desa itu diberi nama Sulang, singkatan dari kesusu ilang (tergesa-gesa hilang)…”
(Belum) Penutup

Demikian sedikit yang dapat saya tulis tentang upaya awal pendokumentasian sejarah Sulang. Tulisan ini terbuka bagi siapa saja yang mungkin memiliki data dan fakta yang lebih banyak-lebih baik-lebih akurat tentang sejarah Sulang.
Sekian, terimakasih.

SUMBER
dusone.wordpress.com
http://sulang.wordpress.com/2008/11/26/sulang-online-sebuah-upaya-penulisan-sejarah-kampung/